Keluarga Cemara Versi Saya (Kisah Nyata)
Halo makhluk hidup !
Alhamdulillah hari ini saya masih diberi kesehatan dan kesempatan untuk memosting halaman baru. Bagaimana dengan kalian ? Semoga sehat semua ya.
Kali ini saya akan menceritakan masa lalu pilu saya. Sebenarnya saya malu untuk menceritakannya. Terlebih lagi ini seperti suatu hal yang malu - maluin. Tapi ada satu hal yang membuat saya akhirnya mantap untuk menceritakan kisah ini, karena ada hikmah positif yang bisa kalian ambil.
Dari kecil, bisa dibilang saya anak yang berkecukupan. Saya minta apapun langsung dibelikan. Minta liburan, mainan, kebutuhan primer, menjadi alasan saya untuk merengek pada orang tua. Saya juga merasa kaya saat itu. Jadi kerap kali saya sedikit pamer dengan barang baru saya terhadap beberapa teman, tapi hanya basa - basi biasa. Saya kira kekayaan ini akan bertahan lama, sehingga orang tua meyakinkan saya untuk masuk kedokteran berapapun biayanya. Bahkan lewat nyogok sekalipun.
Lalu pada tahun 2015, hal tidak terduga terjadi. Perusahaan Ayah yang ia rintis baru 2 tahunan, tiba - tiba bangkrut begitu saja. Dan saat itu saya masih kelas 3 SMP. Saya yang waktu itu masih bisa dibilang "bocah" tidak paham begituan. Pokoknya sewaktu itu, om (adik ipar Ayah) yang menjadi pegawai Ayah sudah tidak datang lagi ke kantor. Saya peka dan tau, karena kantor Ayah dibangun di garasi rumah untuk sementara. Tak hanya itu, biasanya om saya bertugas untuk menjemput saya sepulang sekolah, tapi tidak lagi. Selalu Ibu yang menjemput. Jadi kadang saya bertanya "Om kok sudah tidak kerja lagi ?" Tapi hanya dibalas senyuman oleh Ibu.
Ya kesannya kayak tiba - tiba banget. Ekonomi jadi susah. Ibu sering merenung. Ayah sering berdiam diri dikantor yang ada digarasi. Saya pun mulai paham dengan keadaan itu. Jadi selama posisi itu, uang saku sekolah yang awalnya 15.000 turun drastis menjadi 2.000 saja. Itu benar - benar saya mikir "apa - apaan ini." Tapi ya untungnya itu dalam posisi kelas 3 SMP, dimana kita harus tirakat persiapan UN dan masuk SMA, jadi saya sudah terbiasa tidak beli jajan banyak karena rutin puasa sunnah. Tak hanya itu, mobil yang biasa bertengger didepan rumah, tiba - tiba tidak ada karena kudengar mobil Ayah dijual. Sepeda motorpun yang awalnya saya punya dua yaitu scoopy dan beat, jadi hanya tersisa beat.
Beberapa minggu kemudian, semua hawa menurunnya finansial semakin terasa. Terlebih lagi Ayah yang tidak memiliki penghasilan sama sekali, sedangkan waktu itu Ibu sedang hamil anak keempat. Disitulah orang tua saya ketar - ketir karena masalah uang. Akhirnya yang dilakukan apa untuk mendapatkan uang ? Yakni menjual barang - barang kami. Kebetulan barang - barang kami banyak. Pakaian berjibun, peralatan dapur berjibun, pajangan rumah maupun alat elektronik juga banyak. Sehingga ada beberapa yang dijual oleh Ibu untuk mendapatkan uang agar kami bisa makan dan minum. Tak hanya itu juga, orang tua saya juga meminjam uang kepada orang - orang terdekat mereka, karena sanak saudara kami tidak ada yang membantu. Mereka lebih membantu om dan tante saya (adik Ayah saya), lalu menjauhi keluarga saya. Cuma waktu itu tidak sadar aja kalau dijauhi sama sanak saudara, taunya cuma sudah tidak ada lagi sanak saudara yang berkunjung karena takut kami meminta bantuan. Dan tak lama kemudian, rumah terpaksa dijual untuk modal pindah ke rumah baru didaerah Y, yang sudah dibangun Ayah sejak saya SMP kelas 1 namun pembangunannya belum rampung. Padahal niat awalnya, rumah yang saya tempati waktu itu didaerah X akan dikontrakkan atau disewakan untuk menambah penghasilan. Tapi nasib berkata lain he he he.
Singkat cerita, rumah masih belum terjual. Dan saya sudah selesai UN, akhirnya saya pun berinisiatif untuk mencari pekerjaan sembari menunggu masuk SMA hitung - hitung uang jajan sendiri. Dan saya mendapat pekerjaan di dekat rumah untuk menjaga stand makanan setiap sepulang sekolah. Waktu itu saya sudah pulang siang karena tak ada kegiatan. Soalnya biasanya saya pulang sore. Jadi setiap pulang sekolah, saya selalu langsung berangkat kerja. Dan pulang jam 10 malam. Yang tau saya bekerja seperti itu hanya teman dekat saya sewaktu SMP dan teman kelas. Jadi terkadang beberapa dari mereka membantu saya untuk melariskan jajanan stand yang saya jaga. Tak hanya itu, berita ini juga terdengar hingga ke teman - teman osis saya, sehingga membuat mereka memberikan bantuan berupa sisa uang kas. Lalu, saya juga diberi kabar oleh wali kelas bahwa SPP saya sudah lunas, padahal orang tua tidak merasa membayar. La untuk makan saja susah, apalagi bayar SPP. Begitulah kata Ibu. Jadi siapapun disana yang membantu membayarkan SPP, saya sungguh mengucapkan terima kasih. Mengapa saya dibantu hingga seperti itu ? Karena situasi saya dulu benar - benar seperti orang *maaf* miskin.
Waktu itu saya bersyukur. Walaupun tidak ada sanak saudara yang membantu, tapi ada teman - teman yang respek dan paham akan kondisi saya. Jadi ketika mereka sedang bersenang - senang, saya juga turut dibahagiakan. Jadi, saya lupa akan masalah dirumah. Dan riang kembali. Tapi ketika dirumah, jangankan senyum. Berbicara dengan orang tua pun jadi jarang. Karena dirumah saya merupakan sosok yang dingin. Tapi ya gitu, didalam kamar saya menangis dibalik bantal dan mengeluh pada Tuhan mengapa ini terjadi pada keluarga saya.
Oke, singkat cerita saya sudah masuk SMA. Dan alhamdulillah, rumah saya di daerah X sudah terjual. Saya masih menjaga stand setiap pulang sekolah. Namun, setelah 2 minggu sekolah, saya memutuskan untuk berhenti karena jam pulang yang lebih sore yaitu jam 3 an kalau tidak salah. Terlebih lagi saya dan sekeluarga akan pindah ke rumah yang ada di daerah Y. Lalu, kami sekeluarga pun pindah ke rumah yang masih 50% rampung. Pada awal perencanaan pembangunan, rumah tersebut niatnya akan dibangun 3 tingkat dengan kolam renang dilantai 2. Namun kejadian tidak terduga tersebut merusak semua rencana sehingga sebagian uang penjualan rumah didaerah X digunakan untuk menyelesaikan atap, dinding serta lantai. Bahkan karena kurangnya biaya pun, dinding maupun pilar dibagian luar tidak dicat sama sekali.
Tapi jangan dipikir kehidupan kami normal lagi, justru tidak. Rumah baru keluarga kami pun harus dijual lagi untuk modal usaha Ayah. Kami pun bersusah payah lagi menjualkan rumah tersebut. Menawarkan sana sini pun masih belum ada yang mau membeli rumah 50% rampung itu. Setiap harinya kegiatan Ibu dan Ayah saya berdiam diri dirumah dan berkeliling kota untuk menawarkan rumah ke orang - orang yang sekiranya mampu dan malamnya berjualan mi instan dengan menumpang diwarung teman Ayah yang kebetulan dekat dengan rumah baru kami. Saat situasi tersebut, saya sibuk dengan sekolah. Terlebih lagi saya bergabung dengan OSIS yang terkadang membuat saya pulang terlambat.
Selama itu saya juga turut membantu Ayah saya berjualan, walau sejujurnya saya sangat enggan menginjakkan kaki diwarung itu, karena penuh dengan laki - laki nakal. Tapi keadaan membuat saya harus tetap membantu orang tua berjualan, karena jika tidak saya dan sekeluarga tidak bisa makan. Dan kebetulan saat itu, OSIS sedang mempersiapkan acara besar. Alhasil membuat saya menjadi kurang aktif saat ada perkumpulan malam, sehingga terkadang menjadi gunjingan beberapa teman. Selepas itu, kehidupan saya berjalan normal. Dalam artian saya tidak ikut merasakan rumit maupun susahnya hidup keluarga saat itu. Karena saya dibuat senang oleh lingkungan OSIS saya dan teman - teman lain. Bisa dibilang saya anak yang memiliki gengsi tinggi dikeluarga ketika menunjukkan ekspresi. Saya sangat cuek dan dingin, tapi justru tangisan sayalah yang paling keras saat malam hari tiba. Walau saya sosok yang dingin dirumah, bukan berarti saya tidak peduli. Saya hanya harus menyembunyikan pilu yang saya rasakan juga agar tidak semakin membebani orang tua saya.
Tak lama, rumah kami yang baru ini pun terjual dengan kesepakatan kami akan pindah hingga saya lulus SMA. Semua pun berjalan lancar. Ayah berhenti berjualan mi instan, karena tidak mendapatkan keuntungan. Dengan uang hasil menjual rumah itu pun separuhnya dipakai untuk membuka usaha tekstil bekerja sama dengan teman lama Ayah. Sisanya lagi, dipakai untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Seperti saya yang akhirnya mendapatkan sepeda motor walau hanya bekas. Pakaian baru, sepatu baru, dan membuka toko kecil depan rumah. Selepas itu, kami hidup santai. Tak terlihat lagi wajah murung dari kedua orang tua saya. Namun setelah beberapa bulan, saya merasa ada yang tidak beres dengan kedua orang tua saya. Dan yang benar saja, teman lama Ayah yang dulu mengajaknya bekerja sama rupanya telah menipunya. Dia membawa lari uang Ayah dengan jumlah yang sangat besar. Teman lama Ayah sudah susah dihubungin, bahkan keluarganya juga tidak tau dimana keberadaannya. Hancur lagi sudah harapan Ayah untuk bisa hidup berkecukupan lagi.
Terlihat jelas setiap pulang sekolah, Ibu hanya duduk lemas didepan televisi dan Ayah selalu duduk diteras untuk menghilangkan penat. Lagi - lagi saya tidak bisa menahan luka. Sebagai anak perempuan tertua, saya paham betul dengan keadaan menyedihkan itu. Bahkan kesannya tidak pernah selesai. Tapi saya hanya bisa diam dan bertingkah tidak tau apa - apa demi menyembunyikan ekspresi sedih saya. Namun ketika semua telah tidur, saya hanya berbaring menatap langit - langit dan termenung. Terkadang menangis, terkadang tidak. Dan ini berlangsung hingga kelas 2 SMA.
Ketika saya sudah duduk dikelas 2 SMA, setiap dirumah hati saya merasa tidak enak. Terlebih lagi saya sudah semakin sibuk dengan organisasi, sehingga itu menjadi alasan saya untuk pulang terlambat. Sampai pada suatu ketika, saat itu sore hari. Saya melihat si pembeli datang dengan membawa beberapa sanak saudaranya. Saat itu rasanya sangat mencekam dan tidak enak. Akhirnya saya tidak ingin menghiraukan tamu tersebut. Namun, tak lama kemudian suara ricuh terdengar dari jendela kamar. Dan seperti dugaan saya sebelumnya, sesuatu hal akan terjadi. Setelah mendangar suara ricuh tersebut, saya berlari keluar kamar dan sudah melihat Ayah saya dipegangi beberapa orang serta si pembeli sudah babak belur. Saat itu saya tidak tau pasti penyebab perkelahian tersebut. Saya pun membantu si pembeli dengan memberi air dan menganjurkan untuk ke puskesmas terdekat.
Selepas itu, saya pun masuk ke kamar kembali dan tidak ingin ikut campur tentang masalah itu. Saya masih mendengar kedua orang tua saya mengungkapkan kekesalan dan kekecewaan mereka soal si pembeli yang meningkari kesepakatan kepada penengah mereka (tetangga baik kami). Hati saya berdegup kencang saat itu dan langsung menyebut nama Tuhan berulang kali untuk menenangkan hati. Malamnya, saya duduk ditoko saya. Saya juga tidak melihat kemana Ayah saya pergi. Saya pun menjaga toko hingga larut malam, dan masih tidak melihat dimana Ayah saya berada. Akhirnya saya pun menutup toko dan pergi tidur. Sedangkan Ibu saya masih duduk diruang tamu menggenggam ponselnya dengan wajah yang cemas.
Keesokan harinya, saya dibangunkan jam setengah 4 pagi oleh Ibu saya. Saya disuruh ikut beliau ke suatu tempat. Saat itu saya membawa sebuah tas dimana isinya adalah pakaian Ayah saya, lengkap dengan peralatan mandi. Saya pun bingung, memangnya Ayah sedang ada dimana ? Tapi Ibu tidak menjawab. Kami pun berangkat bersama dengan sepeda motor dan berhenti disalah satu kantor polisi sektor dekat rumah kami. Saya dan Ibu saya masuk bersama. Disitu saya sudah menduga akan jadi seperti ini. Namun, saya masih berlagak tidak tau apa - apa. Selepas barang - barang kami diperiksa, kami pun digiring menuju sebuah sel penahanan sementara. Dan tentu saja, saya melihat Ayah saya dibalik jeruji besi sambil menangis. Saya pun terkejut, karena seumur - umur belum pernah melihat Ayah saya menangis sama sekali, karena wataknya yang sangat keras. Hati saya benar - benar hancur saat itu. Bayangkan saja, yang biasanya dia menyambutmu sepulang sekolah dan mengantarkanmu sekolah, kini harus berpisah sementara waktu. Jujur, saat itu saya menahan tangis sembari melihat Ibu saya masih mengobrol dan diberi beberapa nasehat oleh Ayah. Namun ketika Ayah memanggil saya, tangisan saya pecah, karena tidak mampu melihat Ayah menangis untuk pertama kalinya dibalik jeruji besi pula.
Semenjak peristiwa itu, hati saya semakin koyak. Bisa dibilang saya semakin sensitif dan semakin 'baperan'. Disitulah titik terendah kami. Terlebih kami tidak memiliki apapun dan siapapun. Seusai penangkapan Ayah saya pun, saya dikabari bahwa harus segera pergi dari rumah yang kami tempati. Disitu saya dan Ibu kebingungan, karena tidak ada pegangan uang sama sekali untuk mencari kontrakan. Dan kami hanya diberi waktu 3 hari saja untuk segera pergi. Namun, bersyukurnya kami saat itu. Tetangga kami memiliki sebuah rumah kecil yang tidak terpakai lagi. Letaknya berada disebuah kampung dekat rumah kami ini. Kami pun diizinkan untuk menempati rumah itu terlebih dahulu hingga menemukan sebuah kontrakan. Walaupun kecil, dan tidak dapat dijangkau mobil, kami tetap mau menempati rumah tersebut, karena memang tak ada pilihan lain.
Selama beberapa bulan tinggal disana, kami menjalani kehidupan seperti biasanya. Hanya saja, masih serba kekurangan saja. Ibu juga setiap hari Sabtu mengunjungi Ayah yang sudah dipindahkan ke rutan/lapas (Rumah Tahanan). Terkadang saya ikut, terkadang mengunjungi sendiri, terkadang tidak mengunjungi. Itu bukan berarti saya acuh. Saya hanya tidak mampu saja melihat Ayah saya. Daripada saya meneteskan air mata lagi didepannya. Untungnya selama kami menumpang dirumah tersebut, tanah Ayah laku terjual. Jadi kami hidup melalui uang tersebut dan menyisihkannya untuk mencari kontrakan baru. Dan sekali lagi saya bersyukur, dibalik masalah bertubi - tubi tersebut, masih ada saja teman yang selalu membuat saya senang dan perlahan mengobati luka saya. Apalagi saat itu saya mendapat teman kelas yang menyenangkan.
Beberapa bulan kemudian, kami sekeluarga pindah ke rumah kontrakan, karena didesak untuk cepat - cepat pindah oleh tetangga kami dulu. Dan untungnya semua berjalan lancar dan baik - baik saja. Sampai pada suatu hari dibulan Oktober (Sudah kelas 3 SMA) selepas saya mengurus kegiatan OSIS disekolah, saya pulang dengan perasaan yang tiba - tiba saja senang. Sesampainya dirumah, saya melihat Ayah saya sudah duduk didepan televisi dan menyambut saya dengan senyum khasnya. Ya, saya kenal sekali raut wajah itu. Saya pun langsung memeluknya dengan erat dan sedikit menitihkan air mata. Saya pun bersyukur dan berdoa semoga semua pilu ini akan berakhir sampai disini saja. Tapi, tidak semudah itu ferguso wkwkwk. Masalah ekonomi masih datang menimpa keluarga kami, karena Ayah yang masih tidak mendapatkan penghasilan. Dan, Ayah juga kembali ditipu oleh temannya semasa dirutan. Yap, ditipu lagi dan uang puluhan juta lenyap tanpa kabar. Situasi itu berlangsung hingga saya lulus. Dan detik - detik setelah pelaksanaan SBMPTN, barulah Ayah mendapat pekerjaan baru sebagai pengawas lapangan. Disitu ekonomi kami sudah mulai membaik. Dan cukup untuk sehari - hari. Kebetulan saya juga sudah bekerja diusaha konveksi saat itu.
Baca ceritanya : "Rencana Baru" Pengalaman Penuh Hikmah Masa SMA (5)
Tapi, setelah beberapa bulan ada lagi masalah. Yaitu, kami kembali diusir secara tiba - tiba oleh pemilik kontrakan. Padahal niat kami untuk memperpanjang kontrak, namun pemilik tidak menghendaki dengan alasan akan direnovasi ulang. Orang tua kembali ketar - ketir mencari kontrakan yang murah saat itu. Akhirnya, orang tua saya menemukan yang cocok. Dari luar memang terlihat biasa. Namun, dalamnya sudah direnovasi dan sangat terang, tidak seperti dikontrakan lama yang terlihat lebih suram. Saat itu, saya juga sudah berhenti dari pekerjaan lama saya, sehingga bisa membantu pindahan lebih maksimal.
Baca juga : Ceritaku Pertama Kali Kerja Hingga Resign
Selepas kami pindah, semua suasana begitu adem. Rezeki pun datang bertubi - tubi. Saya mendapat pekerjaan baru, lingkungan tetangga yang lebih kondusif, serta masalah ekonomi yang mulai berkurang. Tidak pernah saya berhenti untuk bersyukur dan berdoa pada Tuhan. Saya bersyukur memiliki teman - teman hebat. Saya memiliki sahabat yang selalu ada dan luar biasa. Saya juga bersyukur memiliki Ibu yang kuat bertahan walau saya tau beliau sangat hancur bahkan sudah tidak dapat disatukan lagi. Orang tua saya tentunya juga direndahkan oleh beberapa teman bisnisnya dahulu. Kami dicaci maki dan dituduh seenak hati mereka. Tak jarang saya juga mendapat whatsapp dari teman Ayah Ibu yang menghina mereka. Namun, saya tau seburuk - buruknya orang tuamu, dia tetap orang tuamu.
Yang dapat saya petik dari peristiwa ini adalah, roda itu berputar. Tidak selamanya kita berada diatas. Ada kalanya kita akan merasakan berada dibawah entah itu kapan. Jangan pernah berhenti memohon pada Tuhan dan berserah diri pada - Nya. Saya juga sadar, sombong itu tak ada gunanya lagi ketika semua hilang. Menyombongkan segala harta, namun pada akhirnya semuanya lenyap karena kesombongan itu sendiri. Percaya sama Tuhan itu adalah hal yang terbaik dari segalanya. Intinya jangan cuma diam saja dan menangis. Kita juga harus bergerak untuk mengimbangi. Tetap sabar, dan selalu bersyukur. Kita tidak hidup sendiri
Sekian untuk hari ini. Maafkan apabila ada yang tidak berkenan. Diharapkan pembaca mampu mengambil positifnya dan berpikir bijak. Sekali lagi, sesungguhnya saya malu dan berat sekali menceritkan kisah ini. Tapi setelah saya pikir kembali, selagi itu mampu memberi pembelajaran, mengapa tidak ? Menerima kritik dan saran melalui komen, email, maupun direct message. Terima kasih semuanya, jangan lupa share ke teman - teman ya, dan nantikan postingan saya lainnya.
Salam
Alhamdulillah hari ini saya masih diberi kesehatan dan kesempatan untuk memosting halaman baru. Bagaimana dengan kalian ? Semoga sehat semua ya.
Kali ini saya akan menceritakan masa lalu pilu saya. Sebenarnya saya malu untuk menceritakannya. Terlebih lagi ini seperti suatu hal yang malu - maluin. Tapi ada satu hal yang membuat saya akhirnya mantap untuk menceritakan kisah ini, karena ada hikmah positif yang bisa kalian ambil.
Dari kecil, bisa dibilang saya anak yang berkecukupan. Saya minta apapun langsung dibelikan. Minta liburan, mainan, kebutuhan primer, menjadi alasan saya untuk merengek pada orang tua. Saya juga merasa kaya saat itu. Jadi kerap kali saya sedikit pamer dengan barang baru saya terhadap beberapa teman, tapi hanya basa - basi biasa. Saya kira kekayaan ini akan bertahan lama, sehingga orang tua meyakinkan saya untuk masuk kedokteran berapapun biayanya. Bahkan lewat nyogok sekalipun.
Lalu pada tahun 2015, hal tidak terduga terjadi. Perusahaan Ayah yang ia rintis baru 2 tahunan, tiba - tiba bangkrut begitu saja. Dan saat itu saya masih kelas 3 SMP. Saya yang waktu itu masih bisa dibilang "bocah" tidak paham begituan. Pokoknya sewaktu itu, om (adik ipar Ayah) yang menjadi pegawai Ayah sudah tidak datang lagi ke kantor. Saya peka dan tau, karena kantor Ayah dibangun di garasi rumah untuk sementara. Tak hanya itu, biasanya om saya bertugas untuk menjemput saya sepulang sekolah, tapi tidak lagi. Selalu Ibu yang menjemput. Jadi kadang saya bertanya "Om kok sudah tidak kerja lagi ?" Tapi hanya dibalas senyuman oleh Ibu.
Ya kesannya kayak tiba - tiba banget. Ekonomi jadi susah. Ibu sering merenung. Ayah sering berdiam diri dikantor yang ada digarasi. Saya pun mulai paham dengan keadaan itu. Jadi selama posisi itu, uang saku sekolah yang awalnya 15.000 turun drastis menjadi 2.000 saja. Itu benar - benar saya mikir "apa - apaan ini." Tapi ya untungnya itu dalam posisi kelas 3 SMP, dimana kita harus tirakat persiapan UN dan masuk SMA, jadi saya sudah terbiasa tidak beli jajan banyak karena rutin puasa sunnah. Tak hanya itu, mobil yang biasa bertengger didepan rumah, tiba - tiba tidak ada karena kudengar mobil Ayah dijual. Sepeda motorpun yang awalnya saya punya dua yaitu scoopy dan beat, jadi hanya tersisa beat.
Beberapa minggu kemudian, semua hawa menurunnya finansial semakin terasa. Terlebih lagi Ayah yang tidak memiliki penghasilan sama sekali, sedangkan waktu itu Ibu sedang hamil anak keempat. Disitulah orang tua saya ketar - ketir karena masalah uang. Akhirnya yang dilakukan apa untuk mendapatkan uang ? Yakni menjual barang - barang kami. Kebetulan barang - barang kami banyak. Pakaian berjibun, peralatan dapur berjibun, pajangan rumah maupun alat elektronik juga banyak. Sehingga ada beberapa yang dijual oleh Ibu untuk mendapatkan uang agar kami bisa makan dan minum. Tak hanya itu juga, orang tua saya juga meminjam uang kepada orang - orang terdekat mereka, karena sanak saudara kami tidak ada yang membantu. Mereka lebih membantu om dan tante saya (adik Ayah saya), lalu menjauhi keluarga saya. Cuma waktu itu tidak sadar aja kalau dijauhi sama sanak saudara, taunya cuma sudah tidak ada lagi sanak saudara yang berkunjung karena takut kami meminta bantuan. Dan tak lama kemudian, rumah terpaksa dijual untuk modal pindah ke rumah baru didaerah Y, yang sudah dibangun Ayah sejak saya SMP kelas 1 namun pembangunannya belum rampung. Padahal niat awalnya, rumah yang saya tempati waktu itu didaerah X akan dikontrakkan atau disewakan untuk menambah penghasilan. Tapi nasib berkata lain he he he.
Singkat cerita, rumah masih belum terjual. Dan saya sudah selesai UN, akhirnya saya pun berinisiatif untuk mencari pekerjaan sembari menunggu masuk SMA hitung - hitung uang jajan sendiri. Dan saya mendapat pekerjaan di dekat rumah untuk menjaga stand makanan setiap sepulang sekolah. Waktu itu saya sudah pulang siang karena tak ada kegiatan. Soalnya biasanya saya pulang sore. Jadi setiap pulang sekolah, saya selalu langsung berangkat kerja. Dan pulang jam 10 malam. Yang tau saya bekerja seperti itu hanya teman dekat saya sewaktu SMP dan teman kelas. Jadi terkadang beberapa dari mereka membantu saya untuk melariskan jajanan stand yang saya jaga. Tak hanya itu, berita ini juga terdengar hingga ke teman - teman osis saya, sehingga membuat mereka memberikan bantuan berupa sisa uang kas. Lalu, saya juga diberi kabar oleh wali kelas bahwa SPP saya sudah lunas, padahal orang tua tidak merasa membayar. La untuk makan saja susah, apalagi bayar SPP. Begitulah kata Ibu. Jadi siapapun disana yang membantu membayarkan SPP, saya sungguh mengucapkan terima kasih. Mengapa saya dibantu hingga seperti itu ? Karena situasi saya dulu benar - benar seperti orang *maaf* miskin.
Waktu itu saya bersyukur. Walaupun tidak ada sanak saudara yang membantu, tapi ada teman - teman yang respek dan paham akan kondisi saya. Jadi ketika mereka sedang bersenang - senang, saya juga turut dibahagiakan. Jadi, saya lupa akan masalah dirumah. Dan riang kembali. Tapi ketika dirumah, jangankan senyum. Berbicara dengan orang tua pun jadi jarang. Karena dirumah saya merupakan sosok yang dingin. Tapi ya gitu, didalam kamar saya menangis dibalik bantal dan mengeluh pada Tuhan mengapa ini terjadi pada keluarga saya.
Oke, singkat cerita saya sudah masuk SMA. Dan alhamdulillah, rumah saya di daerah X sudah terjual. Saya masih menjaga stand setiap pulang sekolah. Namun, setelah 2 minggu sekolah, saya memutuskan untuk berhenti karena jam pulang yang lebih sore yaitu jam 3 an kalau tidak salah. Terlebih lagi saya dan sekeluarga akan pindah ke rumah yang ada di daerah Y. Lalu, kami sekeluarga pun pindah ke rumah yang masih 50% rampung. Pada awal perencanaan pembangunan, rumah tersebut niatnya akan dibangun 3 tingkat dengan kolam renang dilantai 2. Namun kejadian tidak terduga tersebut merusak semua rencana sehingga sebagian uang penjualan rumah didaerah X digunakan untuk menyelesaikan atap, dinding serta lantai. Bahkan karena kurangnya biaya pun, dinding maupun pilar dibagian luar tidak dicat sama sekali.
Tapi jangan dipikir kehidupan kami normal lagi, justru tidak. Rumah baru keluarga kami pun harus dijual lagi untuk modal usaha Ayah. Kami pun bersusah payah lagi menjualkan rumah tersebut. Menawarkan sana sini pun masih belum ada yang mau membeli rumah 50% rampung itu. Setiap harinya kegiatan Ibu dan Ayah saya berdiam diri dirumah dan berkeliling kota untuk menawarkan rumah ke orang - orang yang sekiranya mampu dan malamnya berjualan mi instan dengan menumpang diwarung teman Ayah yang kebetulan dekat dengan rumah baru kami. Saat situasi tersebut, saya sibuk dengan sekolah. Terlebih lagi saya bergabung dengan OSIS yang terkadang membuat saya pulang terlambat.
Selama itu saya juga turut membantu Ayah saya berjualan, walau sejujurnya saya sangat enggan menginjakkan kaki diwarung itu, karena penuh dengan laki - laki nakal. Tapi keadaan membuat saya harus tetap membantu orang tua berjualan, karena jika tidak saya dan sekeluarga tidak bisa makan. Dan kebetulan saat itu, OSIS sedang mempersiapkan acara besar. Alhasil membuat saya menjadi kurang aktif saat ada perkumpulan malam, sehingga terkadang menjadi gunjingan beberapa teman. Selepas itu, kehidupan saya berjalan normal. Dalam artian saya tidak ikut merasakan rumit maupun susahnya hidup keluarga saat itu. Karena saya dibuat senang oleh lingkungan OSIS saya dan teman - teman lain. Bisa dibilang saya anak yang memiliki gengsi tinggi dikeluarga ketika menunjukkan ekspresi. Saya sangat cuek dan dingin, tapi justru tangisan sayalah yang paling keras saat malam hari tiba. Walau saya sosok yang dingin dirumah, bukan berarti saya tidak peduli. Saya hanya harus menyembunyikan pilu yang saya rasakan juga agar tidak semakin membebani orang tua saya.
Tak lama, rumah kami yang baru ini pun terjual dengan kesepakatan kami akan pindah hingga saya lulus SMA. Semua pun berjalan lancar. Ayah berhenti berjualan mi instan, karena tidak mendapatkan keuntungan. Dengan uang hasil menjual rumah itu pun separuhnya dipakai untuk membuka usaha tekstil bekerja sama dengan teman lama Ayah. Sisanya lagi, dipakai untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Seperti saya yang akhirnya mendapatkan sepeda motor walau hanya bekas. Pakaian baru, sepatu baru, dan membuka toko kecil depan rumah. Selepas itu, kami hidup santai. Tak terlihat lagi wajah murung dari kedua orang tua saya. Namun setelah beberapa bulan, saya merasa ada yang tidak beres dengan kedua orang tua saya. Dan yang benar saja, teman lama Ayah yang dulu mengajaknya bekerja sama rupanya telah menipunya. Dia membawa lari uang Ayah dengan jumlah yang sangat besar. Teman lama Ayah sudah susah dihubungin, bahkan keluarganya juga tidak tau dimana keberadaannya. Hancur lagi sudah harapan Ayah untuk bisa hidup berkecukupan lagi.
Terlihat jelas setiap pulang sekolah, Ibu hanya duduk lemas didepan televisi dan Ayah selalu duduk diteras untuk menghilangkan penat. Lagi - lagi saya tidak bisa menahan luka. Sebagai anak perempuan tertua, saya paham betul dengan keadaan menyedihkan itu. Bahkan kesannya tidak pernah selesai. Tapi saya hanya bisa diam dan bertingkah tidak tau apa - apa demi menyembunyikan ekspresi sedih saya. Namun ketika semua telah tidur, saya hanya berbaring menatap langit - langit dan termenung. Terkadang menangis, terkadang tidak. Dan ini berlangsung hingga kelas 2 SMA.
Ketika saya sudah duduk dikelas 2 SMA, setiap dirumah hati saya merasa tidak enak. Terlebih lagi saya sudah semakin sibuk dengan organisasi, sehingga itu menjadi alasan saya untuk pulang terlambat. Sampai pada suatu ketika, saat itu sore hari. Saya melihat si pembeli datang dengan membawa beberapa sanak saudaranya. Saat itu rasanya sangat mencekam dan tidak enak. Akhirnya saya tidak ingin menghiraukan tamu tersebut. Namun, tak lama kemudian suara ricuh terdengar dari jendela kamar. Dan seperti dugaan saya sebelumnya, sesuatu hal akan terjadi. Setelah mendangar suara ricuh tersebut, saya berlari keluar kamar dan sudah melihat Ayah saya dipegangi beberapa orang serta si pembeli sudah babak belur. Saat itu saya tidak tau pasti penyebab perkelahian tersebut. Saya pun membantu si pembeli dengan memberi air dan menganjurkan untuk ke puskesmas terdekat.
Selepas itu, saya pun masuk ke kamar kembali dan tidak ingin ikut campur tentang masalah itu. Saya masih mendengar kedua orang tua saya mengungkapkan kekesalan dan kekecewaan mereka soal si pembeli yang meningkari kesepakatan kepada penengah mereka (tetangga baik kami). Hati saya berdegup kencang saat itu dan langsung menyebut nama Tuhan berulang kali untuk menenangkan hati. Malamnya, saya duduk ditoko saya. Saya juga tidak melihat kemana Ayah saya pergi. Saya pun menjaga toko hingga larut malam, dan masih tidak melihat dimana Ayah saya berada. Akhirnya saya pun menutup toko dan pergi tidur. Sedangkan Ibu saya masih duduk diruang tamu menggenggam ponselnya dengan wajah yang cemas.
Keesokan harinya, saya dibangunkan jam setengah 4 pagi oleh Ibu saya. Saya disuruh ikut beliau ke suatu tempat. Saat itu saya membawa sebuah tas dimana isinya adalah pakaian Ayah saya, lengkap dengan peralatan mandi. Saya pun bingung, memangnya Ayah sedang ada dimana ? Tapi Ibu tidak menjawab. Kami pun berangkat bersama dengan sepeda motor dan berhenti disalah satu kantor polisi sektor dekat rumah kami. Saya dan Ibu saya masuk bersama. Disitu saya sudah menduga akan jadi seperti ini. Namun, saya masih berlagak tidak tau apa - apa. Selepas barang - barang kami diperiksa, kami pun digiring menuju sebuah sel penahanan sementara. Dan tentu saja, saya melihat Ayah saya dibalik jeruji besi sambil menangis. Saya pun terkejut, karena seumur - umur belum pernah melihat Ayah saya menangis sama sekali, karena wataknya yang sangat keras. Hati saya benar - benar hancur saat itu. Bayangkan saja, yang biasanya dia menyambutmu sepulang sekolah dan mengantarkanmu sekolah, kini harus berpisah sementara waktu. Jujur, saat itu saya menahan tangis sembari melihat Ibu saya masih mengobrol dan diberi beberapa nasehat oleh Ayah. Namun ketika Ayah memanggil saya, tangisan saya pecah, karena tidak mampu melihat Ayah menangis untuk pertama kalinya dibalik jeruji besi pula.
Semenjak peristiwa itu, hati saya semakin koyak. Bisa dibilang saya semakin sensitif dan semakin 'baperan'. Disitulah titik terendah kami. Terlebih kami tidak memiliki apapun dan siapapun. Seusai penangkapan Ayah saya pun, saya dikabari bahwa harus segera pergi dari rumah yang kami tempati. Disitu saya dan Ibu kebingungan, karena tidak ada pegangan uang sama sekali untuk mencari kontrakan. Dan kami hanya diberi waktu 3 hari saja untuk segera pergi. Namun, bersyukurnya kami saat itu. Tetangga kami memiliki sebuah rumah kecil yang tidak terpakai lagi. Letaknya berada disebuah kampung dekat rumah kami ini. Kami pun diizinkan untuk menempati rumah itu terlebih dahulu hingga menemukan sebuah kontrakan. Walaupun kecil, dan tidak dapat dijangkau mobil, kami tetap mau menempati rumah tersebut, karena memang tak ada pilihan lain.
Selama beberapa bulan tinggal disana, kami menjalani kehidupan seperti biasanya. Hanya saja, masih serba kekurangan saja. Ibu juga setiap hari Sabtu mengunjungi Ayah yang sudah dipindahkan ke rutan/lapas (Rumah Tahanan). Terkadang saya ikut, terkadang mengunjungi sendiri, terkadang tidak mengunjungi. Itu bukan berarti saya acuh. Saya hanya tidak mampu saja melihat Ayah saya. Daripada saya meneteskan air mata lagi didepannya. Untungnya selama kami menumpang dirumah tersebut, tanah Ayah laku terjual. Jadi kami hidup melalui uang tersebut dan menyisihkannya untuk mencari kontrakan baru. Dan sekali lagi saya bersyukur, dibalik masalah bertubi - tubi tersebut, masih ada saja teman yang selalu membuat saya senang dan perlahan mengobati luka saya. Apalagi saat itu saya mendapat teman kelas yang menyenangkan.
Beberapa bulan kemudian, kami sekeluarga pindah ke rumah kontrakan, karena didesak untuk cepat - cepat pindah oleh tetangga kami dulu. Dan untungnya semua berjalan lancar dan baik - baik saja. Sampai pada suatu hari dibulan Oktober (Sudah kelas 3 SMA) selepas saya mengurus kegiatan OSIS disekolah, saya pulang dengan perasaan yang tiba - tiba saja senang. Sesampainya dirumah, saya melihat Ayah saya sudah duduk didepan televisi dan menyambut saya dengan senyum khasnya. Ya, saya kenal sekali raut wajah itu. Saya pun langsung memeluknya dengan erat dan sedikit menitihkan air mata. Saya pun bersyukur dan berdoa semoga semua pilu ini akan berakhir sampai disini saja. Tapi, tidak semudah itu ferguso wkwkwk. Masalah ekonomi masih datang menimpa keluarga kami, karena Ayah yang masih tidak mendapatkan penghasilan. Dan, Ayah juga kembali ditipu oleh temannya semasa dirutan. Yap, ditipu lagi dan uang puluhan juta lenyap tanpa kabar. Situasi itu berlangsung hingga saya lulus. Dan detik - detik setelah pelaksanaan SBMPTN, barulah Ayah mendapat pekerjaan baru sebagai pengawas lapangan. Disitu ekonomi kami sudah mulai membaik. Dan cukup untuk sehari - hari. Kebetulan saya juga sudah bekerja diusaha konveksi saat itu.
Baca ceritanya : "Rencana Baru" Pengalaman Penuh Hikmah Masa SMA (5)
Tapi, setelah beberapa bulan ada lagi masalah. Yaitu, kami kembali diusir secara tiba - tiba oleh pemilik kontrakan. Padahal niat kami untuk memperpanjang kontrak, namun pemilik tidak menghendaki dengan alasan akan direnovasi ulang. Orang tua kembali ketar - ketir mencari kontrakan yang murah saat itu. Akhirnya, orang tua saya menemukan yang cocok. Dari luar memang terlihat biasa. Namun, dalamnya sudah direnovasi dan sangat terang, tidak seperti dikontrakan lama yang terlihat lebih suram. Saat itu, saya juga sudah berhenti dari pekerjaan lama saya, sehingga bisa membantu pindahan lebih maksimal.
Baca juga : Ceritaku Pertama Kali Kerja Hingga Resign
Selepas kami pindah, semua suasana begitu adem. Rezeki pun datang bertubi - tubi. Saya mendapat pekerjaan baru, lingkungan tetangga yang lebih kondusif, serta masalah ekonomi yang mulai berkurang. Tidak pernah saya berhenti untuk bersyukur dan berdoa pada Tuhan. Saya bersyukur memiliki teman - teman hebat. Saya memiliki sahabat yang selalu ada dan luar biasa. Saya juga bersyukur memiliki Ibu yang kuat bertahan walau saya tau beliau sangat hancur bahkan sudah tidak dapat disatukan lagi. Orang tua saya tentunya juga direndahkan oleh beberapa teman bisnisnya dahulu. Kami dicaci maki dan dituduh seenak hati mereka. Tak jarang saya juga mendapat whatsapp dari teman Ayah Ibu yang menghina mereka. Namun, saya tau seburuk - buruknya orang tuamu, dia tetap orang tuamu.
Yang dapat saya petik dari peristiwa ini adalah, roda itu berputar. Tidak selamanya kita berada diatas. Ada kalanya kita akan merasakan berada dibawah entah itu kapan. Jangan pernah berhenti memohon pada Tuhan dan berserah diri pada - Nya. Saya juga sadar, sombong itu tak ada gunanya lagi ketika semua hilang. Menyombongkan segala harta, namun pada akhirnya semuanya lenyap karena kesombongan itu sendiri. Percaya sama Tuhan itu adalah hal yang terbaik dari segalanya. Intinya jangan cuma diam saja dan menangis. Kita juga harus bergerak untuk mengimbangi. Tetap sabar, dan selalu bersyukur. Kita tidak hidup sendiri
Sekian untuk hari ini. Maafkan apabila ada yang tidak berkenan. Diharapkan pembaca mampu mengambil positifnya dan berpikir bijak. Sekali lagi, sesungguhnya saya malu dan berat sekali menceritkan kisah ini. Tapi setelah saya pikir kembali, selagi itu mampu memberi pembelajaran, mengapa tidak ? Menerima kritik dan saran melalui komen, email, maupun direct message. Terima kasih semuanya, jangan lupa share ke teman - teman ya, dan nantikan postingan saya lainnya.
Salam
Comments
Post a Comment