"Rumit Hati dan Pilihan" Pengalaman Penuh Hikmah Masa SMA (1)

Halo makhluk hidup !
Kali ini saya akan membagikan pengalaman saat saya masih disekolah menengah atas. Karena saya pikir, masa - masa SMA adalah masa paling labil dan paling berapi - apinya seorang remaja. Jadi mungkin ini akan menjadi seri, karena tidak mungkin dijelaskan dalam sekali publish.



Seperti yang kalian tau, Sekolah Menengah Atas atau yang biasa kita kenal SMA adalah masa - masa akhir menikmati kehidupan remaja. Dan setelah SMA, tentu saja kita akan melanjutkan kehidupan selanjutnya didunia perkuliahan. Pasti, beberapa dari kita sempat sibuk menentukan jurusan dan universitas yang cocok. Tak hanya itu, bahkan yang dulu kecilnya bercita - cita ingin menjadi pilot, dokter, atau pramugari, harus pupus harapan karena ketidakmungkinan untuk bersaing. Kenapa seperti itu ? Akan saya jelaskan dibawah.


Saya akan bercerita pengalaman tahun lalu, dimana saya menemukan "jati diri" disituasi sulit.

Saat itu saya berada dalam ambang keraguan. Dimana kedua orang tua saya menekan gengsinya. Rasa malu dan khawatir terngiang dipikiran mereka tatkala saya bersikeras memilih untuk masuk ke jurusan bahasa. Saat itu umur saya masih sekitar 15 atau 16 tahun. Tentu saja saya tidak bisa melawan keingingan orang tua yang mau saya untuk masuk jurusan IPA agar dapat menjadi dokter. Dan pada akhirnya, saya masuk jurusan IPA.

Ketika hari demi hari saya jalani, mulanya baik - baik saja. Bahkan orang tua pun mengharapkan saya dapat berprestasi kembali seperti sewaktu saya masih SMP. Namun, lama - kelamaan saya mengalami situasi berat. Semangat belajar hilang, jiwa kompetitif pudar, dan tidak ada keminatan untuk bersekolah. Entah kenapa rasa itu hilang dan saya benar - benar merasa tidak ada keminatan apapun

Singkat cerita saya sudah kelas 2 SMA. Masa itu adalah masa dimana saya benar - benar menemukan keminatan saya yaitu berorganisasi. Namun, karena hal itu pula saya sering mengabaikan pelajaran. Nilai kembali turun dan tidak dapat memahami berbagai macam pelajaran hitung - menghitung seperti fisika, matematika, dan kimia. Pasti sekeliling saya sempat ada yang menggunjing. Bagaimana bisa murid seperti saya masuk IPA tapi tidak memahami pelajaran IPA sama sekali.

Saya cukup direndahkan, namun untungnya teman - teman sekelas saya waktu itu sangat baik. Bagaikan keluarga ketiga bagiku. Saya juga sangat antusias dalam berorganisasi saat itu, hingga sering lupa bahwa seharusnya tujuan utama saya ke sekolah adalah menimba ilmu. Saya memang berjiwa organisasi, jadi tak heran saat itu saya lebih mementingkan organisasi daripada sekolah saya.

Singkat cerita, saya mulai menemukan titik kenyamanan dalam hidup saya. Teman kelas yang mendukung, aktivitas yang mendukung, serta guru yang mendukung, membuat saya senantiasa untuk bersekolah walau diotak saya hanya ada "Organisasi" meskipun begitu, saya masih mahir dalam pelajaran teori. Entah itu biologi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan yang lainnya. Oleh sebab itu, saya menyadari bahwa tempat saya bukan di IPA. Melainkan bahasa atau IPS. Tapi, ketika saya sadar bahwa orang tua masih bersikeras untuk menguliahkan saya dijurusan kedokteran, saya kembali murung.

Sempat waktu itu saya bertengkar dengan Ayah saya hingga sebulan lamanya demi mempertahankan keinginan saya dan membuang jauh - jauh "kedokteran" dari pikiran orang tua saya. Saya sempat merasa putus asa, karena tidak dapat melakukan apapun. Ayah saya mengoceh banyak hal dan saya akui apa yang dia bicarakan ada benarnya. Saya pun terdiam dalam kurun waktu yang cukup lama berusaha untuk memikirkan hal itu sementara. Terkadang saya kesal kenapa harus memiliki orang tua dengan gengsi yang sangat besar seperti itu. Namun, jika saya melihat kembali keadaan waktu itu, saya pun harus bisa merubah situasi.

Memang belum yakin 100% bahwa saya telah menemukan passion saya sendiri. Yang bisa saya lakukan saat itu hanya menyesuaikan kehendak orang tua. Dengan latar belakang keluarga yang keras, saya tidak ingin membuat masalah. Tapi sayangnya, keegoisan saya serta orang tua menjadi akar permasalahannya. Ketika remaja labil dan memiliki jiwa berapi - api harus berhadapan dengan orang tua yang hanya mementingkan derajat serta menyombongkan diri. Kalian tau bukan akan jadi seperti apa peperangan tersebut ?

Pasti segelintir diantara kalian, juga pernah atau sedang merasakan hal tersebut. Dimana kalian memiliki keinginan dan tujuan hidup sendiri, harus pupus karena tekanan orang tua. Tak banyak juga mungkin dari kalian yang merasa masa bodoh, tapi justru sikap inilah yang salah. Kelak kalian akan memahami yang saya maksud. Jadi, tunggu seri selanjutnya.

Salam.

Baca Juga "Semakin Tidak Nyaman" Pengalaman Penuh Hikmah Masa SMA (2)

Comments

Popular Posts